Ketika saya memandang masa depan, ia tampak begitu terang sehingga menyilaukan mata saya. Oprah Winfrey
______________________________________________________________________

Pengantar catatan seorang demonstran (Story)

Sebuah Renungan

Prof. Arief Boediman kakak Almarhum

Ada dua hal yang membuat saya sulit untuk menulis tentang almarhum adik saya, Soe Hok Gie. Pertama, karena terlalu banyak yang mau saya katakan, sehingga saya pasti akan kecewa kalau saya menulis tentang dia pada pengantar buku ini (Buku Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, LP3ES). Kedua, karena bagaimanapun juga, saya tidak akan dapat menceritakan tentang diri adik saya secara obyektif. Saya terlalu terlibat dalam hidupnya.

Karena itu, untuk pengantar buku ini, saya hanya ingin menceritakan suatu peristiwa yang berhubungan dengan diri almarhum, yang mempengaruhi pula hidup saya dan saya harap, hidup orang-orang lain yang membaca buku ini.

Saya ingat, sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah ia bicarakan dengan saya. Dia berkata:

    "Akhir-akhir ini saya selalu berfikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian. "

Saya tahu, mengapa dia berkata begitu. Dia menulis kritik-kritik keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai "Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja." Ibu sering gelisah dan berkata:" Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang". Terhadap Ibu dia cuma tersenyum dan berkata "Ah, Mama tidak mengerti.."

Kemudian, dia juga jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orangtuanya tidak setuju - mereka selalu dihalang-halangi untuk bertemu. Orang tua gadis itu adalah seorang pedagang yang cukup kaya dan Hok Gie sudah beberapa kali bicara dengan dia.

Kepada saya Hok Gie berkata:

    " Kadang-kadang, saya merasa sedih. Kalau saya bicara dengan ayahnya si...., saya merasa dia sangat menghargai saya. Bahkan dia mengagumi keberanian saya dalam tulisan-tulisan saya. Tapi kalau anaknya diminta, dia pasti menolak. Terlalu besar resikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya. "

Karena itu ketika seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya,

    "Gie seorang intelektual bebas adalah pejuang yang sendirian. Selalu, mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan terlempar keluar sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan."

Surat ini dia tunjukkan kepada saya. Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata "Ya, saya siap."

Dalam suasana yang seperti inilah dia meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak gunung Semeru. Pekerjaan terakhir yang ia lakukan adalah mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan demikian akan tambah cantik dimuka penguasa. Suatu tindakan yang membuat dia tambah terpencil lagi, kali ini dengan beberapa teman-teman mahasiswa yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun 1966.

Ketika dia tercekik oleh gas beracun kawah Mahameru, dia memang ada di suatu tempat terpencil dan dingin. Hanya seorang yang mendampinginya, salah seorang sahabatnya yang sangat karib, Herman Lantang. Suasana ini juga yang ada, ketika saya berdiri menghadapi jenazahnya di tengah malam yang dingin, di rumah lurah sebuah desa di kaki Gunung Semeru. Jenazah tersebut dibungkus oleh plastik dan kedua ujungnya diikat dengan tali, digantungkan pada kayu yang panjang. Kulitnya tampak kuning pucat, matanya terpejam dan dia tampak tenang. Saya berfikir:" Tentunya sepi dan dingin terbungkus dalam plastik itu."

Ketika jenazah dimandikan di rumah sakit Malang, pertanyaan yang muncul di dalam diri saya ialah apakah hidupnya sia-sia saja? Jawabnya saya dapatkan sebelum saya tiba kembali di Jakarta....

Saya sedang duduk ketika seorang teman yang memesan peti mati pulang. Dia tanya, apakah saya punya keluarga di Malang? Saya jawab "Tidak, mengapa?" Dia cerita, tukang peti mati, ketika dia kesana bertanya, untuk siapa peti mati ini? Teman saya menyebut nama Soe Hok Gie dan si tukang peti mati tampak agak terkejut.

"Soe Hok Gie yang suka menulis di koran?" dia bertanya. Teman saya meng-iyakan. Tiba-tiba si tukang peti mati menangis. Dia berusaha bertanya mengapa si tukang peti menangis, tapi yang ditanya hanya terus menangis dan hanya menjawab: "Dia orang yang berani. Sayang dia meninggal."

Jenazah dibawa oleh pesawat terbang AURI, dari Malang mampir Yogya dan kemudian ke Jakarta. Ketika di Yogya, kami turun dari pesawat dan duduk di lapangan rumput. Pilot yang mengemudikan pesawat tersebut duduk bersama kami. Kemudian dia bertanya, apakah benar jenazah yang dibawa adalah jenazah Soe Hok Gie. Saya membenarkan. Dia kemudian berkata: "Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak kalau dia hidup."

Saya memandang ke arah cakrawala yang membatasi lapangan terbang dan khayalan saya mencoba menembus ruang hampa yang ada di balik awan sana. Apakah suara perlahan dari penerbang AURI ini bergema juga di ruang hampa tersebut?.

Saya tahu, di mana Soe Hok Gie menulis karangan-karangannya. Di rumah di Jalan Kebon Jeruk, di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram, karena voltase yang selalu turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk.

Ketika orang lain sudah tidur, seringkali masih terdengar suara mesin tik dari kamar belakang Soe Hok Gie, di kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangannya. Pernahkan ia membayangkan bahwa karangan tersebut akan dibaca oleh seorang penerbang AURI atau oleh seorang tukang peti mati di Malang?

Tiba-tiba saya melihat sebuah gambaran yang menimbulkan berbagai macam perasaan di dalam diri saya. Ketidakadilan merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang. Mereka memang tidak berani membuka mulutnya, karena kekuasaan membungkamnya. Tapi kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan itu sendiri, karena betapa kuat pun kekuasaan, seseorang masih tetap memiliki kemerdekaan untuk berkata "Ya" atau "Tidak," meskipun cuma di dalam hatinya.

Saya terbangun dalam lamunan saya ketika dipanggil naik pesawat terbang. Kami akan segera berangkat lagi. Saya berdiri disamping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik "Gie, kamu tidak sendirian." Saya tidak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak yang saya katakan itu.

Suara pesawat terbang mengaum terlalu keras

Arief Budiman

sumber: http://neokoderinspirasi.blogspot.com/2009/06/arie-boediman-di-pengantar-catatan.html